bertahun-tahun hanya di dalam kamar bermain game TV, surfing internet, nonton TV dan mendengarkan musik. Beberapa hanya empat tahun, tapi ada juga yang lebih dari sepuluh tahun ngamar. Kadang hanya sebulan sekali membeli CD game di toko musik atau keluar malam membeli kit model pesawat untuk stok satu bulan berikutnya..
Sindrom ini dikenal di Jepang dengan Hikikomori, atau berarti “menarik diri“. Walau ada hikikomori perempuan, tapi 80 persen hikikomori adalah anak laki-laki, dimulai mungkin paling muda sekitar umur 13-14 tahun, dan ada yang lebih dari 15 tahun melakukan hikikomori. Fenomena ini sering dijumpai di negara maju.
Jepang merupakan negara paling maju di antara negara-negara asia. Di antara negara maju di asia, Korea selatan dan Taiwan juga mempunyai beberapa kasus sindrom yang sama. Tapi hanya di Jepang, hikikomori menjadi fenomena sosial yang meluas – di bicarakan di TV dan media lainnya.
Ada film dokumentari yang dibuat “Home”, dimana memfilmkan kisah saudara laki-lakinya sendiri yang melakukan hikikomori. Atau berita heboh di media tentang seorang hikikomori yang menculik seorang anak perempuan 9 tahun dan menyimpannya di kamar tidurnya selama lebih dari 10 tahun.
Sebab pastinya tidak jelas. Kebanyakan publik di media menyalahkan faktor keluarga hilangnya figur ayah (karena kerja berlebihan sampai malam), ibu yang terlalu memanjakan anak (mungkin karena jumlah anak yang sedikit), tekanan akademik di sekolah, pelecehan di sekolah (school bullying), dan video game di Jepang yang luar biasa menggoda.
Mungkin bisa dibilang mereka menarik diri dari tekanan kompetisi pelajar, pelaku ekonomi atau pekerja di negara yang luar biasa kompetisi-nya. Jumlah pastinya tidak diketahui pasti, ada yang menghitung sekitar 1 persen dari populasi. Ini berarti sekitar 1 juta orang Jepang hikikomori. Hitungan yang lebih konservatif berkisar antara 100 ribu dan 320 ribu orang yang hikikomori.
Tekanan di sekolah sedikit banyak berperan akan hikikomori. Kebanyakan mereka dilecehkan karena terlalu gemuk, kurus, tinggi atau melebihi kemampuan dari yang lainnya dalam hal apapun. Ada seorang hikikomori dengan kemampuan lebih dari biasanya dalam basket dan mengalami pelecehan – dimana tidak mendapatkan kesempatan waktu main normal di tim sekolahnya. Seperti pepatah jepang, paku yang menonjol akan dipalu untuk menjadi seragam.
Di jepang, keseragaman adalah utama, penampilan dan respek (postur tubuh atau muka) adalah penting, maka pemberontakan akan kompetisi dilakukan dengan menarik diri – hikikomori.
Semakin tua seseorang hikikomori, semakin kecil kemungkinan dia bisa berkompeten di dunia luarnya. Bila setahun lebih hikikomori, ada kemungkinan dia tidak bisa kembali normal lagi untuk bekerja atau membangun relasi sosial dalam waktu lama, menikah misalnya.
Beberapa tidak akan pernah meninggalkan rumah orang tuanya. Pada banyak kasus, saat orang tuanya meninggal atau pensiun akan menimbulkan masalah karena mereka tanpa kemampuan kerja dan sosial minimal – bahkan untuk membicarakan masalahnya dengan orang lain atau kantor pemerintah.
Hikikomori memang salah satu masalah bagi Jepang, setelah lebih dari satu dekade sebelumya menikmati kemajuan ekonomi yang luar biasa. Beberapa dekade terakhir ini, negara jepang masih bergulat mengembalikan kejayaan ekonominya walau masih jauh dari puncak sebelumnya.
Akibatnya banyak lowongan kerja penuh waktu atau salariman (yang menerima gaji tetap tiap bulan dan akan menikmati uang pensiun) menjadi hal yang sulit didapat. Walau pekerjaan paruh waktu tetap banyak, tetapi kemapanan bekerja di satu perusahaan dengan gaji tetap tiap bulan dan menikmati keamanan uang pensiun merupakan angan-angan sebagian besar pekerja di Jepang.
Satu sebab lainnya adalah kultur gender, dimana anak laki-laki mendapat tekanan untuk sukses di bidang akademik dan pekerjaan dibanding anak perempuan. Seperti biasa, sekolah dari pagi hingga sore kemudian dilanjutkan dengan sekolah private untuk persiapan masuk universitas hampir selama tujuh hari seminggu.
Karena hanya dengan masuk universitas bergengsi (Universitas Tokyo, misalnya), mereka bisa di rekrut masuk dalam kelas pekerja tetap dan menikmati pensiun. Sisanya bekerja di pekerjaan paruh waktu atau tanpa pekerjaan sama sekali, yang tidak memberikan keamanan finansial yang tetap.
Di mana pada satu titik, beberapa merasa masa bodoh dengan tekanan ini, keluar dari jalur kompetisi dan menutup dirinya – hikikomori. Alhasil ada sekelompok pemuda yang tidak bisa dan tidak akan ikut dalam kelas pekerja Jepang – yang terkenal pekerja keras itu.
Sindrom ini mungkin tidak banyak ditemui di Indonesia, walau saya pernah menjumpainya yang tidak seekstrem di Jepang. Namun dalam skala yang lebih kecil, tanpa kita sadari, sindrom hikikomori mini dan micro telah berjalan sejak lama. Tiap hari kita menemui sikap hikikomori– menutup diri, masa bodoh, dan terbelit inersia dari kesulitan tanpa memulai untuk berjuang memecahkan masalah.
Terutama di negara di mana suara rakyat dan simpati amat sulit didengar di pemerintahan. Entah hanya dengan membuang sampah tidak pada tempatnya, menunda pekerjaan atau hal kecil lainnya, rasa apati itu bisa makin membesar, masa bodoh – dan membuat kita keluar dari dunia normal.
Semoga kita bisa belajar.
0 komentar:
Posting Komentar